Pengertian Dan Teori Pemerolehan Bahasa Anak
a. Pengertian Pemerolehan Bahasa Anak
Pemerolehan bahasa (language acquisition)
atau akuisisi bahasa menurut Maksan (1993:20) adalah suatu proses
penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara tidak sadar,
implisit, dan informal. Lyons (1981:252) menyatakan suatu bahasa yang
digunakan tanpa kualifikasi untuk proses yang menghasilkan pengetahuan
bahasa pada penutur bahasa disebut pemerolehan bahasa. Artinya, seorang
penutur bahasa yang dipakainya tanpa terlebih dahulu mempelajari bahasa
tersebut.
Stork
dan Widdowson (1974:134) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa dan
akuisisi bahasa adalah suatu proses anak-anak mencapai kelancaran dalam
bahasa ibunya. Kelancaran bahasa anak dapat diketahui dari perkembangan
apa? Huda (1987:1) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah proses
alami di dalam diri seseorang menguasai bahasa. Pemerolehan bahasa
biasanya didapatkan hasil kontak verbal dengan penutur asli lingkungan
bahasa itu. Dengan demikian, istilah pemerolehan bahasa mengacu ada
penguasaan bahasa secara tidak disadari dan tidak terpegaruh oleh
pengajaran bahasa tentang sistem kaidah dalam bahasa yang dipelajari.
b. Pandangan Teori Pemerolehan Bahasa
Dari
beberapa pengertian di atas, dapatlah dinyatakan bahwa pembelajaran
bahasa adalah suatu proses secara sadar yang dilakukan oleh anak
(pembelajar) untuk menguasai bahasa yang dipelajarinya. Penguasaan
bahasa tersebut biasanya dilakukan melalui pengajaran yang formal dan
dilakukan secara intensif. Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan
pemerolehan bahasa adalah suatu proses penguasaan bahasa anak yang
dilakukan secara alami yang diperoleh dari lingkungannya dan bukan
karena sengaja mempelajarinya dengan verbal. Pemerolehan bahasa biasanya
didapatkan dari hasil kontak verbal dengan penutur asli di lingkungan
bahasa itu.
1) Teori Pemerolehan Bahasa Behavioristik
Paling
tidak ada tiga pandangan yang berkaitan dengan teori pemerolehan
bahasa. Ketiga pandangan itu ialah teori behavioristik, teori
mentalistik, dan teori kognitiftik. Untuk lebih jelasnya ketiga teori
tersebut dapat diuraikan satu per satu berikut ini. Menurut pandangan
kaum behavioristik atau kaum empirik atau kaum antimentalistik, bahwa
anak sejak lahir tidak membawa strutur linguistik. Artinya, anak lahir
tidak ada struktur linguistik yang dibawanya. Anak yang lahir dianggap
kosong dari bahasa.
Mereka
berpendapat bahwa anak yang lahir tidak membawa kapasitas atau potensi
bahasa. Brown dalam Pateda (1990:43) menyatakan bahwa anak lahir ke
dunia ini seperti kain putih tanpa catatan-catatan, lingkungannyalah
yang akan membentuknya yang perlahan-lahan dikondisikan oleh lingkungan
dan pengukuhan terhadap tingkah lakunya. Pengetahuan dan keterampilan
berbahasa diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar. Pengalaman
dan proses belajar yang akan membentuk akuisisi bahasanya. Dengan
demikian, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui
pewarisan kebudayaan, sama halnya seperti orang yang akan belajar
mengendarai sepeda.
Menurut
Skinner (Suhartono, 2005:73) tingkah laku bahasa dapat dilakukan dengan
cara penguatan. Penguatan itu terjadi melalui dua proses yaitu stimulus
dan respon. Dengan demikian, yang paling penting di sini adalah adanya
kegiatan mengulangulang stimulus dalam bentuk respon. Oleh karena itu,
teori stimulus dan respon ini juga dinamakan teori behaviorisme.
Dikaitkan
dengan akuisisi bahasa, teori behavioris mendasarkan pada proses
akuisisi melalui perubahan tingkah laku yang teramati. Gagasan
behavioristik terutama didasarkan pada teori belajar yang pusat
perhatian tertuju pada peranan lingkungan, baik verbal maupun nonverbal.
Teori belajar behavioris ini menjelaskan bahwa perubahan tingkah laku
dilakukan dengan menggunakan model stimulus (S) dan respon (R) Dengan
demikian, akuisisi bahasa dapat diterangkan berdasarkan konsep SR.
Setiap ujaran dan bagian ujaran yang dihasilkan anak adalah reaksi atau
respon terhadap stimulus yang ada. Apabila berkata, “Bu, saya minta
makan”, sebenarnya sebelum ada ujaran ini anak telah ada stimulus berupa
perut terasa kosong dan lapar. Keinginan makan, antara lain dapat
dipenuhi dengan makan nasi atau bubur. Bagi seorang anak yang beraksi
terhadap stimulus yang akan datang, ia mencoba menghasilkan sebagian
ujaran berupa bunyi yang kemudian memperoleh pengakuan dari orang yang
di lingkungan anak itu.
Kaum
behavioris memusatkan perhatian pada pola tingkah laku berbahasa yang
berdaya guna untuk menghasilkan respon yang benar terhadap setiap
stimulus. Apabila respon terhadap stimulus telah disetujui kebenarannya,
hal itu menjadi kebiasaan. Misalnya seorang anak mengucapkan , "ma ma
ma",dan tidak ada anggota keluarga yang menolak kehadiran kata itu, maka
tuturan "ma ma ma", akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu akan diulangi
lagi ketika anak tadi melihat sesosok tubuh manusia yang akan disebut
ibu yang akan dipanggil "ma ma ma". Hal yang sama akan berlaku untuk
setiap kata-kata lain yang didengar anak.
Teori
akuisisi bahasa berdasarkan konsep behavioris menjelaskan bahwa
anak-anak mengakuisisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam
hal ini dengan cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan ini Pateda
(1990:45) menyatakan bahwa faktor yang penting dalam peniruan adalah
frekuensi berulangnya satu kata dan urutan kata. ujaran-ujaran itu akan
mendapat pengukuhan, sehingga anak akan lebih berani menghasilkan kata
dan urutan kata. Seandainya kata dan urutan kata itu salah, maka
lingkungan tidak akan memberikan pengukuhan. dengan cara ini, lingkungan
akan mendorong anak menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak
memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal.
2) Teori Pemerolehan Bahasa Mentalistik
Menurut
pandangan kaum mentalis atau rasionalis atau nativis, proses akuisisi
bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia
telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan
berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Chomsky (1959) bahwa anak yang lahir ke dunia ini
telah membawa kapasitas atau potensi. Potensi bahasa ini akan turut
menentukan struktur bahasa yang akan digunakan. Pandangan ini yang akan
kelask disebut hipotesis rasionalis atau hipotesis ide-ide bawaan yang
akan dipertentangkan dengan hipotesis empiris yang berpendapat bahwa
bahasa diperoleh melalui proses belajar atau pengalaman.
Seperti
telah dikatakan di atas bahwa anak memiliki kapasitas atau potensi
bahasa maka potensi bahasa ini akan berkembang apabila saatnya tiba.
Pandangan ini biasanya disebut pandangan nativis (Brown, 1980:20). Kaum
mentalis beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa
yang disebut LAD (Language Acquisition Device). Kelengkapan bahas ini
berisi sejumlah hipotesis bawaan. Hipotesis bawaan menurut para ahli
berpendapat bahasa adalah satu pola tingkah laku spesifik dan bentuk
tertentu dari persepsi kecakapan mengategorikan dan mekanisme hubungan
bahasa, secara biologis telah ditemukan (Comsky, 1959).
Mc Neill (Brown, 1980:22) menyatakan bahwa LAD itu terdiri atas:
- kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.
- kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian;
- pengetahuan tenteng sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin, dan kecapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, Dengan demikian, dapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin diluar data linguistik yang ditemukan.
Pandangan
kaum mentalis yang perlu diperhatikan adalah penemuan mereka tentang
sistem bekerjanya bahasa anak. Chomsky dan kawan-kawan berpendapat bahwa
perkembangan bahasa anak bukanlah perubahan rangkaian proses yang
berlangsung sedikit semi sedikit pada struktur bahasa yang tidak benar,
dan juga standia lanjut. Akan tetapi standia yang bersistem yang
berbentuk kelengkapan-kelengkapan bawaan ditambah dengan pengalaman anak
ketika ia melaksanakan sosialisasi diri. Kelengkapan bawaan ini
kemudian diperluas, dikembangkan, dan bahkan diubah.
Dalam
hubungan anak membawa sejumlah kapasitas dan potensi, kaum mentalis
memberikan alasan-alasan sebagai berikut:. Semua manusia belajar bahasa
tertentu; semua bahasa manusia sama-sama dapat dipelajari oleh manusia;
semua bahasa manusia bebeda dalam aspek lahirnya, tetapi semua bahasa
mempunyai ciri pembeda yang umum, ciri-ciri pembeda ini yang terdapat
pada semua bahasa merupakan kunci terhadap pengertian potensi bawaan
bahasa tersebut. Argumen ini mengarahkan kita kepada pengambilan
kesimpulan bahwa potensi bawaan bukan saja potensi untuk dapat
mempelajari bahasa, tetapi hal itu merupakan potensi genetik yang akan
menentukan struktur bahasa yang akan dipelajarinya.
3) Teori Akuisisi Bahasa Kognitif
Dalam
psikolingustik, teori kognitif ini yang memandang bahasa lebih mendalam
lagi. Para penganut teori ini, berpendapat bahwa kaidah generatif yang
dikemukakan oleh kaum mentalis sangat abstrak, formal, dan eksplisit
serta sangat logis. Meskipun demikian, mereka mengemukakan secara
spesifik dan terbatas pada bentuk-bentuk bahasa. Mereka belum membahas
hal-hal menyangkut dalam lapisan bahasa, yakni ingatan, persepsi,
pikiran, makna, dan emosi yang saling berpengaruh dalam struktur jiwa
manusia. Para ahli bahasa mulai melihat bahwa bahasa adalah manifestasi
dari perkembangan umum yang merupakan aspek kognitif dan aspek afektif
yang menyatakan tentang dunia diri manusia itu sendiri.
Teori
kognitif menekankan hasil kerja mental, hasil kerja yang nonbehavioris.
Proses-proses mental dibayangkan sebagai yang secara kualitatif berbeda
dari tingkah laku yang dapat diobservasi. Titik awal teori kognitif
adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan
struktur di dalam bahasa yang ia dengar di sekelilingnya. Baik pemahaman
maupun produksi serta komprehensi, bahasa pada anak dipandang sebagai
hasil proses kognitif yang secara terus-menerus berkembang dan berubah.
Jadi, stimulus merupakan masukan bagi anak yang kemudian berproses dalam
otak. Pada otak ini terjadi mekanisme internal yang diatur oleh
pengatur kognitif yang kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif
tadi.
Teori
kognitif telah membawa satu persoalan dalam pemberian organisasi
kognitif bahasa anak. Persoalan itu, yakni belum ada model yang
terperinci yang memeriksa organisasi kognitif bahasa anak itu. Untunglah
Slobin telah menformulasikan sejumla prinsip operasi yang telah menarik
perhatian para ahli, Clark dan Clark (Hamied,1987:22-23) telah menyusun
kembali dan memformulasikan prinsip operasi Slobin tersebut.
Prinsip
koherensi semantik ada tiga aspek yaitu mencari modifikasi sistematik
dalam bentuk kata; mencari penanda gramatis yang dengan jelas
menunjukkan perbedaan yang mendasari dan menghindari kekecualian.
Prinsip
Struktur lahir meliputi: memperhatikan ujung kata; memperhatikan urutan
kata, awalan, dan akhiran; dan menghindari penyelaan atau pengaturan
kembali satu-satuan linguistik.
Tiga
Prinsip koherensi semantik behubungan dengan peletakan gagasan terhadap
bahas, sedangkan tiga prinsip struktur lahir berkenaan dengan masalah
segmentasi yaitu bagaimana membagi alur ujaran yang terus-menerus
menjadi satuan-satuan linguistik yang terpisah dan bermakna.
Penganut
teori kognitif beranggapan bahwa ada prinsip yang mendasari organisasi
linguistik yang digunakan oleh anak untuk menafsirkan serta
mengoperasikan lingkungan linguistiknya. Semua ini adalah hasil
pekerjaan mental yang meskipun tidak dapat diamati, jelas mempunyai
dasar fisik. Proses mental secara kualitatif berbeda dari tingkah laku
yang dapat diamati, dan karena berbeda dengan pandangan behavior
(Pateda, 1990).
Bahan
Bacaan : Modul Diklat Pasca UKA-Karakteristik Perkembangan Bahasa Anak,
Pusat Pengembangan Profesi Pendidik Badan PSDMPK dan PMP Kemdikbud
(2012)