8/26/2012

Pengertian dan Teori Pemerolehan Bahasa Anak

Pengertian Dan Teori Pemerolehan Bahasa Anak

a. Pengertian Pemerolehan Bahasa Anak

Pemerolehan bahasa (language acquisition) atau akuisisi bahasa menurut Maksan (1993:20) adalah suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara tidak sadar, implisit, dan informal. Lyons (1981:252) menyatakan suatu bahasa yang digunakan tanpa kualifikasi untuk proses yang menghasilkan pengetahuan bahasa pada penutur bahasa disebut pemerolehan bahasa. Artinya, seorang penutur bahasa yang dipakainya tanpa terlebih dahulu mempelajari bahasa tersebut.

Stork dan Widdowson (1974:134) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa dan akuisisi bahasa adalah suatu proses anak-anak mencapai kelancaran dalam bahasa ibunya. Kelancaran bahasa anak dapat diketahui dari perkembangan apa? Huda (1987:1) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah proses alami di dalam diri seseorang menguasai bahasa. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan hasil kontak verbal dengan penutur asli lingkungan bahasa itu. Dengan demikian, istilah pemerolehan bahasa mengacu ada penguasaan bahasa secara tidak disadari dan tidak terpegaruh oleh pengajaran bahasa tentang sistem kaidah dalam bahasa yang dipelajari.

b. Pandangan Teori Pemerolehan Bahasa
Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah dinyatakan bahwa pembelajaran bahasa adalah suatu proses secara sadar yang dilakukan oleh anak (pembelajar) untuk menguasai bahasa yang dipelajarinya. Penguasaan bahasa tersebut biasanya dilakukan melalui pengajaran yang formal dan dilakukan secara intensif. Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan pemerolehan bahasa adalah suatu proses penguasaan bahasa anak yang dilakukan secara alami yang diperoleh dari lingkungannya dan bukan karena sengaja mempelajarinya dengan verbal. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan dari hasil kontak verbal dengan penutur asli di lingkungan bahasa itu.

1) Teori Pemerolehan Bahasa Behavioristik
Paling tidak ada tiga pandangan yang berkaitan dengan teori pemerolehan bahasa. Ketiga pandangan itu ialah teori behavioristik, teori mentalistik, dan teori kognitiftik. Untuk lebih jelasnya ketiga teori tersebut dapat diuraikan satu per satu berikut ini. Menurut pandangan kaum behavioristik atau kaum empirik atau kaum antimentalistik, bahwa anak sejak lahir tidak membawa strutur linguistik. Artinya, anak lahir tidak ada struktur linguistik yang dibawanya. Anak yang lahir dianggap kosong dari bahasa.

Mereka berpendapat bahwa anak yang lahir tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Brown dalam Pateda (1990:43) menyatakan bahwa anak lahir ke dunia ini seperti kain putih tanpa catatan-catatan, lingkungannyalah yang akan membentuknya yang perlahan-lahan dikondisikan oleh lingkungan dan pengukuhan terhadap tingkah lakunya. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar. Pengalaman dan proses belajar yang akan membentuk akuisisi bahasanya. Dengan demikian, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui pewarisan kebudayaan, sama halnya seperti orang yang akan belajar mengendarai sepeda.

Menurut Skinner (Suhartono, 2005:73) tingkah laku bahasa dapat dilakukan dengan cara penguatan. Penguatan itu terjadi melalui dua proses yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, yang paling penting di sini adalah adanya kegiatan mengulangulang stimulus dalam bentuk respon. Oleh karena itu, teori stimulus dan respon ini juga dinamakan teori behaviorisme.

Dikaitkan dengan akuisisi bahasa, teori behavioris mendasarkan pada proses akuisisi melalui perubahan tingkah laku yang teramati. Gagasan behavioristik terutama didasarkan pada teori belajar yang pusat perhatian tertuju pada peranan lingkungan, baik verbal maupun nonverbal. Teori belajar behavioris ini menjelaskan bahwa perubahan tingkah laku dilakukan dengan menggunakan model stimulus (S) dan respon (R) Dengan demikian, akuisisi bahasa dapat diterangkan berdasarkan konsep SR. Setiap ujaran dan bagian ujaran yang dihasilkan anak adalah reaksi atau respon terhadap stimulus yang ada. Apabila berkata, “Bu, saya minta makan”, sebenarnya sebelum ada ujaran ini anak telah ada stimulus berupa perut terasa kosong dan lapar. Keinginan makan, antara lain dapat dipenuhi dengan makan nasi atau bubur. Bagi seorang anak yang beraksi terhadap stimulus yang akan datang, ia mencoba menghasilkan sebagian ujaran berupa bunyi yang kemudian memperoleh pengakuan dari orang yang di lingkungan anak itu.
 
Kaum behavioris memusatkan perhatian pada pola tingkah laku berbahasa yang berdaya guna untuk menghasilkan respon yang benar terhadap setiap stimulus. Apabila respon terhadap stimulus telah disetujui kebenarannya, hal itu menjadi kebiasaan. Misalnya seorang anak mengucapkan , "ma ma ma",dan tidak ada anggota keluarga yang menolak kehadiran kata itu, maka tuturan "ma ma ma", akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu akan diulangi lagi ketika anak tadi melihat sesosok tubuh manusia yang akan disebut ibu yang akan dipanggil "ma ma ma". Hal yang sama akan berlaku untuk setiap kata-kata lain yang didengar anak.

Teori akuisisi bahasa berdasarkan konsep behavioris menjelaskan bahwa anak-anak mengakuisisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam hal ini dengan cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan ini Pateda (1990:45) menyatakan bahwa faktor yang penting dalam peniruan adalah frekuensi berulangnya satu kata dan urutan kata. ujaran-ujaran itu akan mendapat pengukuhan, sehingga anak akan lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Seandainya kata dan urutan kata itu salah, maka lingkungan tidak akan memberikan pengukuhan. dengan cara ini, lingkungan akan mendorong anak menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal.

2) Teori Pemerolehan Bahasa Mentalistik
Menurut pandangan kaum mentalis atau rasionalis atau nativis, proses akuisisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Chomsky (1959) bahwa anak yang lahir ke dunia ini telah membawa kapasitas atau potensi. Potensi bahasa ini akan turut menentukan struktur bahasa yang akan digunakan. Pandangan ini yang akan kelask disebut hipotesis rasionalis atau hipotesis ide-ide bawaan yang akan dipertentangkan dengan hipotesis empiris yang berpendapat bahwa bahasa diperoleh melalui proses belajar atau pengalaman.

Seperti telah dikatakan di atas bahwa anak memiliki kapasitas atau potensi bahasa maka potensi bahasa ini akan berkembang apabila saatnya tiba. Pandangan ini biasanya disebut pandangan nativis (Brown, 1980:20). Kaum mentalis beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang disebut LAD (Language Acquisition Device). Kelengkapan bahas ini berisi sejumlah hipotesis bawaan. Hipotesis bawaan menurut para ahli berpendapat bahasa adalah satu pola tingkah laku spesifik dan bentuk tertentu dari persepsi kecakapan mengategorikan dan mekanisme hubungan bahasa, secara biologis telah ditemukan (Comsky, 1959).

Mc Neill (Brown, 1980:22) menyatakan bahwa LAD itu terdiri atas:
  • kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.
  • kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian;
  • pengetahuan tenteng sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin, dan kecapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, Dengan demikian, dapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin diluar data linguistik yang ditemukan.

Pandangan kaum mentalis yang perlu diperhatikan adalah penemuan mereka tentang sistem bekerjanya bahasa anak. Chomsky dan kawan-kawan berpendapat bahwa perkembangan bahasa anak bukanlah perubahan rangkaian proses yang berlangsung sedikit semi sedikit pada struktur bahasa yang tidak benar, dan juga standia lanjut. Akan tetapi standia yang bersistem yang berbentuk kelengkapan-kelengkapan bawaan ditambah dengan pengalaman anak ketika ia melaksanakan sosialisasi diri. Kelengkapan bawaan ini kemudian diperluas, dikembangkan, dan bahkan diubah.

Dalam hubungan anak membawa sejumlah kapasitas dan potensi, kaum mentalis memberikan alasan-alasan sebagai berikut:. Semua manusia belajar bahasa tertentu; semua bahasa manusia sama-sama dapat dipelajari oleh manusia; semua bahasa manusia bebeda dalam aspek lahirnya, tetapi semua bahasa mempunyai ciri pembeda yang umum, ciri-ciri pembeda ini yang terdapat pada semua bahasa merupakan kunci terhadap pengertian potensi bawaan bahasa tersebut. Argumen ini mengarahkan kita kepada pengambilan kesimpulan bahwa potensi bawaan bukan saja potensi untuk dapat mempelajari bahasa, tetapi hal itu merupakan potensi genetik yang akan menentukan struktur bahasa yang akan dipelajarinya.

3) Teori Akuisisi Bahasa Kognitif
Dalam psikolingustik, teori kognitif ini yang memandang bahasa lebih mendalam lagi. Para penganut teori ini, berpendapat bahwa kaidah generatif yang dikemukakan oleh kaum mentalis sangat abstrak, formal, dan eksplisit serta sangat logis. Meskipun demikian, mereka mengemukakan secara spesifik dan terbatas pada bentuk-bentuk bahasa. Mereka belum membahas hal-hal menyangkut dalam lapisan bahasa, yakni ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang saling berpengaruh dalam struktur jiwa manusia. Para ahli bahasa mulai melihat bahwa bahasa adalah manifestasi dari perkembangan umum yang merupakan aspek kognitif dan aspek afektif yang menyatakan tentang dunia diri manusia itu sendiri.

Teori kognitif menekankan hasil kerja mental, hasil kerja yang nonbehavioris. Proses-proses mental dibayangkan sebagai yang secara kualitatif berbeda dari tingkah laku yang dapat diobservasi. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur di dalam bahasa yang ia dengar di sekelilingnya. Baik pemahaman maupun produksi serta komprehensi, bahasa pada anak dipandang sebagai hasil proses kognitif yang secara terus-menerus berkembang dan berubah. Jadi, stimulus merupakan masukan bagi anak yang kemudian berproses dalam otak. Pada otak ini terjadi mekanisme internal yang diatur oleh pengatur kognitif yang kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi.

Teori kognitif telah membawa satu persoalan dalam pemberian organisasi kognitif bahasa anak. Persoalan itu, yakni belum ada model yang terperinci yang memeriksa organisasi kognitif bahasa anak itu. Untunglah Slobin telah menformulasikan sejumla prinsip operasi yang telah menarik perhatian para ahli, Clark dan Clark (Hamied,1987:22-23) telah menyusun kembali dan memformulasikan prinsip operasi Slobin tersebut.

Prinsip koherensi semantik ada tiga aspek yaitu mencari modifikasi sistematik dalam bentuk kata; mencari penanda gramatis yang dengan jelas menunjukkan perbedaan yang mendasari dan menghindari kekecualian.

Prinsip Struktur lahir meliputi: memperhatikan ujung kata; memperhatikan urutan kata, awalan, dan akhiran; dan menghindari penyelaan atau pengaturan kembali satu-satuan linguistik.
Tiga Prinsip koherensi semantik behubungan dengan peletakan gagasan terhadap bahas, sedangkan tiga prinsip struktur lahir berkenaan dengan masalah segmentasi yaitu bagaimana membagi alur ujaran yang terus-menerus menjadi satuan-satuan linguistik yang terpisah dan bermakna.

Penganut teori kognitif beranggapan bahwa ada prinsip yang mendasari organisasi linguistik yang digunakan oleh anak untuk menafsirkan serta mengoperasikan lingkungan linguistiknya. Semua ini adalah hasil pekerjaan mental yang meskipun tidak dapat diamati, jelas mempunyai dasar fisik. Proses mental secara kualitatif berbeda dari tingkah laku yang dapat diamati, dan karena berbeda dengan pandangan behavior (Pateda, 1990).

Bahan Bacaan : Modul Diklat Pasca UKA-Karakteristik Perkembangan Bahasa Anak, Pusat Pengembangan Profesi Pendidik Badan PSDMPK dan PMP Kemdikbud (2012)